Sabtu, 21 Mei 2011

kisah orang pinggiran SAPTO SI TUKANG BECAK


Diusianya yang sudah renta tak mampu lagi menopang beban berat. Tapi masih saja ada beban yang harus dia pikul dipundaknya yang mulai membungkuk. Peluhnya mengalir setiap kali rasa lelah dan penat menggerayangi tubuh kurusnya. Tak ada binar bahagia diraut wajah tuanya, yang ada hanya gambaran rasa lelah yang dia tanggung begitu lama.
Pak Sapto seorang tukang becak yang masih harus berjuang sendirian untuk menghidupi keluarganya. Ditengah kehidupan kota di zaman yang sudah modern dan orang-orang mulai melupakan bejak sebagai alat tranportasi, tapi Sapto masih terus mengayuh becaknya menyusuri jalanan kota Yogyakarta.
Hidup sendiri jauh dari keluarga harus rela dia lakoni demi mencari sesuap nasi. Baginya hidup itu memang perjuangan, bahkan diusianya yang senja dia masih punya semangat untuk berjuang hidup. Sapto tinggal dipinggir jalan di bawah pohon besar yang melindunginya dari terik matahari ketika siang mencuat. Dia juga hanya tidur di dalam becak tuanya tanpa selimut tebal ketika malam menjelang bahkan ketika hujan deras menguyur bumi. Udara dingin dan hawa panas tidak pernah menyurutkan semangatnya.
Beban hidupnya begitu berat, sedih katanya jika dia pulang kedesanya tanpa membawa uang untuk istri dan cucunya. Padahal hidup Sapto sebagai tukang becak tidak lebih dari dari cukup untuk menghidupi dirinya sendiri. Terkadang jika tubuh rentanya mulai dilanda sakit, Sapto hanya tidur dipinggir jalan dengan alas kardus tanpa bisa mencari penumpang. Tidak ada penumpang tidak ada uang, dan itu artinya dia tidak bisa makan.
Pernah terpikir oleh Sapto untuk kembali saja kedesanya menjalani hidup nyaman dirumah gubuknya. Tapi mimpi itu tidak mudah baginya menjadi nyata. Siapa yang akan memberinya makan jika dia tidak bekerja, siapa yang akan dia andalkan padahal keluarganya mengandalkan dirinya.
Sapto tukang becak yang tua dan rapuh sudah tidak punya air mata lagi untuk menangisi nasibnya. Kini harapannya hanya ingin kembali pulang menikmati sisa hidupnya dengan damai disisi keluarganya. Masih ada seuntai senyum kecil ketika dia membayangkan hal itu. Masih ada syukur yang terucap oleh bibir keringnya untuk hidup yang sudah dia jalani, masih ada semangat membara di hatinya yang kelu oleh perjalanan hidupnya, masih ada mimpi yang ingin dia wujudkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar