Sabtu, 21 Mei 2011

Legenda Cinta Pulau Kemaro

Palembang adalah ibu kota Sumatra Selatan. Nama Palembang banyak mempunyai arti. Pengertian yang mendekati kenyataan adalah apa yang diterjemahkan oleh R.J.Wilkinson dalam kamusnya ‘A Malay English Dictionary’ (Singapore, 1903): lembang adalah tanah yang berlekuk, tanah yang rendah, akar yang membengkak karena terendam lama di dalam air. Menurut Kamus Dewan (karya Dr. T.Iskandar, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1986), lembang berarti lembah, tanah lekuk, tanah yang rendah. Untuk arti lain dari lembang adalah tidak tersusun rapi, terserak-serak. Sedangkan menurut bahasa Melayu, lembang berarti air yang merembes atau rembesan air. Arti Pa atau Pe menunjukkan keadaan atau tempat.Menurut I.J. van Sevenhoven (Lukisan tentang Ibukota Palembang, Bhratara, Jakarta, 1971, hlm. 12), Palembang berarti tempat tanah yang dihanyutkan ke tepi, sedangkan Stuerler menerjemahkan Palembang sebagai tanah yang terdampar. Pengertian Palembang tersebut kesemuanya menunjukkan tanah yang berair. Ini tidak jauh dari kenyataan yang ada, bahkan pada saat sekarang, yang dibuktikan oleh data statistik tahun 1990, bahwa masih terdapat 52,24% tanah yang tergenang di kota Palembang. Sebagai catatan tambahan, di Kotamadya sekarang ini masih tercatat sebanyak 117 buah anak-anak sungai yang mengalir di tengah kota. Nama Palembang jika di lihat dari arti yang ada memang sesuai dengan keadaan kota yang banyak memiliki anak sungai dan pastinya pemberian nama Palembang juga menilik adanya sungai musi yang mengalir panjang di kota Palembang.
Di Palembang telah di bangun Jembatan Ampera. Jembatan Ampera merupakan jembatan yang terletak di tengah kota Palembang dan membelah sungai Musi, yang menghubungkan 2 wilayah kota Palembang, Palembang Ilir dan Palembang Ulu.Jembatan Ampera mulai dibangun pada masa pemerintahan Soekarno pada bulan April 1962. Dananya berasal dari hasil pampasan perang pemerintah Jepang sebesar ± US $ 7 juta (± Rp 2,5 miliar). Saat diresmikan pada Mei 1965, Jembatan Ampera dahulu diklaim sebagai jembatan terbesar di Asia Tenggara. Total panjang jembatan mencapai 1.177 meter dan lebar 22 meter. Menariknya, bagian tengah jembatan ini terangkat setinggi 35,40 meter jika ada kapal yang hendak melintas. Pada tahun 1970 aktivitas naik-turun jembatan dihentikan karena waktu yang dibutuhkan bukan lagi 10 menit seperti sebelumnya tapi 30 menit, sehingga mengganggu arus lalu lintas. Di sepanjang sungai Musi inilah banyak legenda yang seolah terus mengalir bersama arus sungainya.
Pulau Kemaro terletak di daerah Sumatera Selatan, tepatnya di tengah sungai Musi  yang membelah kota Palembang. Kemaro sendiri merupakan bahasa Palembang, yang  berarti kemarau. Menurut masyarakat Palembang, dinamakan pulau Kemaro karena  pulau ini tidak pernah digenangi air. Walaupun volume air di sungai Musi meningkat, Pulau Kemaro tetap saja kering. Karena keunikan inilah, masyarakat sekitarnya menjulukinya sebagai Pulau Kemaro. Pulau Kemaro mengandung arti pulau yang tidak pernah kebanjiran atau digenangi air meskipun volume sungai musi sedang naik-naiknya. Letaknya sekitar 5 km dari Benteng Kuto Besak. Bentuknya mirip seperti kapal. Sebagian tokoh mengatakan bahwa itu memang kapal Tan Bun An yang ditinggal majikannya.
Pulau Kemaro terletak di sebuah delta yang berada di tengah-tengah sungai Musi, sekitar 5 km arah hulu. Di dalam pulau ini terdapat sebuah makam yang diyakini sebagai makan dari Putri Sriwijaya Siti Fatimah yang menceburkan diri ke Sungai Musi.
Tanah yang mirip kapal di tepian sungai musi memang ada. Diatasnya terdapat sebuah kuil yang sangat megah (saat ini masih dalam tahap pengembangan). Hebatnya lagi, disebelah kuil ini akan dibangun sebuah masjid sebagai bentuk penghormatan kepada Siti Fatimah. Di pulau ini terdapat beberapa rumah penduduk, yang sebagian besar beragama muslim. Sehari-hari mereka bekerja sebagai nelayan dan membersihkan kuil tersebut.         
 Apabila kita berkunjung ke pulau Kemaro, akan didapati tiga buah gundukan tanah yang menyerupai batu karang, dimana setiap gundukan diberi semacam atap dari kayu dan diberi batu nisan dengan tulisan Tiongkok yang didominasi warna merah.
Menurut cerita, gundukan tanah yang di tengah adalah makam sang putri. Sedangkan dua gundukan tanah yang ada di sebelanya merupakan makam ajudan dari pangeran Tiongkok dan dayang kepercayaan sang putri. Hingga kini makam-makam tersebut masih terawat baik sebagai legenda pulau Kemaro.
Bangunan yang dipercayai sebagai makam Siti Fatimah bergabung dalam satu komplek Klenteng Hok Tjing Rio di mana di dalamnya juga terdapat Dewa Bumi (Hok Tek Cin Sin), dewanya umat Budha. Di makam Siti Fatimah, para penziarah juga dapat melihat sejauh mana peruntungan yang di dapat di masa depan. Dengan menggunakan kayu panjang seukuran panjang dua tangan manusia, kayu panjang sebagai media melihat sejauhmana peruntungan yang diinginkannya. Jika dua tangan yang direntangkan lebih panjang dari batas yang ditandai oleh karet gelang pada kayu tersebut dari pengukuran rentang tangan pertama, maka penziarah memiliki peruntungan yang lebih baik di masa depan. Jika tidak sampai batas karet gelang tersebut adalah sebaliknya. Apakah hal tersebut mutlak adanya, tidak ada seorang pun yang memastikan. Klenteng Hok Tjing Rio dengan luas 3,5 hektar itu juga menjadi salah satu tonggak kehadiran China dalam sejarah perkembangan Palembang. Arsitektur klenteng mencerminkan pula filosofi bangunan khas China, sebagaimana terdapat di berbagai klenteng di daerah lain. Seluruh bangunan berwarna dominan merah dengan tambahan warna kuning keemasan. Bangunan terdiri atas pendopo di tepi Sungai Musi, dua menara tempat pembakaran uang emas, ruang utama, ruang belakang, dan ruang keramat kuburan pasangan Siti Fatimah dan Tan Bun An.
Memasuki Pulau Kemaro memang sarat dengan nuansa mistis. Walau dari legenda Siti Fatimah dan Tan Bun An, Pulau Kemaro sering didengungkan sebagai tempat untuk meminta jodoh. Penjaga Pulau Kemaro pernah menuturkan secara gaibnya bahwa makam Siti Fatimah didampingi panglima dan dayang, depannya adalah suaminya. Menurutnya masalah jodoh adalah tergantung dari niat manusianya.. dikisahkan juga, bahwa di pulau yang sudah ada sejak 400 tahun yang lalu ini pernah ada dua orang tukang becak yang ingin mendapatkan istri. Mereka mendatangi Pulau Kemaro. “Ada yang membawa satu pasang angsa, dan ada yang membawa satu pasang burung. Saat mereka pulang, mereka mendapatkan jodohnya masing-masing, tetapi itulah, masalah jodoh tidak terlepas dari kehendak yang kuasa,” .
Ditegaskan juga oleh penjaga Pulau Kemaro bahwa, di Pulau Kemaro ini terlihat adanya dua unsur keyakinan yang tetap berjalan berkesinambungan. “Siti Fatimah ini muslim, dan didalamnya ada altar persembahan untuk Dewa Bumi yang diyakini oleh umat Budha. Berdampingannya dua keyakinan dalam satu komplek di Pulau Kemaro ini membuktikan bahwa bersatunya umat Budha dan Islam membawa keselarasan dalam kehidupan, karena keyakinan adalah mutlak hubungannya antara manusia dengan sang pencipta. Akulturasi perlu terus dikenang untuk menanamkan semangat toleransi dan kerja sama bagi generasi baru,” tukasnya.
                Pulau ini akan ramai di datangi oleh para pengunjung etnis cina baik dari dalam maupun luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Cina dan beberapa negara lainnya terutama pada saat Cap Go Me (15 hari setelah Imlek) , dan di sana ada sebuah pohon langka yang di sebut pohon cinta dimana apa bila pasangan muda-mudi yg berpacaran apabila mengukir nama mereka konon cinta mereka akan berlanjut ke pelaminan.
Gambar-gambar Pulau Kemaro
Jembatan Ampera yang menjadi kebanggaan masyarakat Palembang Sum-Sel


Klenteng yang ada di Pulau Kemaro

kisah KELUARGA KAYA

 
Mosman adalah ayah dari keluarga yang kaya raya. Pada suatu hari dia mengajak putranya pergi ke sebuah desa. Tujuan Mosman mengajak anaknya adalah untuk memperlihatkan kepada putranya bagaimana orang miskin dapat menjalani hidup.
Mereka menghabiskan beberapa hari di sebuah pertanian sebuah keluarga petani yang sangat miskin. Setelah menghabiskan waktu beberapa hari itu, Mosman mengajak putranya untuk pulang. Dalam perjalanan pulang sang ayah bertanya kepada putranya.
“ jadi, bagaimana perjalanan kita?”
“sangat menyenangkan ayah” Jawab sang anak kepada ayahnya. Kemudian sang ayah bertanya lagi.
“apakah kamu melihat bagaimana keluarga miskin itu menjalani hidup?”
“tentu” jawab sang anak.
“jadi apa yang kamu pelajari?” Mosman kembali bertanya. Kemudian anak menjawab.
“aku melihat bahwa kita hanya punya satu anjing dan mereka memiliki empat, kita punya kolam renang yang menjangkau ke tengah taman kita dan mereka memiliki telaga yang tidak ada ujungnya.  Kita juga memiliki lampu-lampu taman kualitas impor dan mereka memiliki bintang dimalam hari yang cahayanya mampu menjangkau teras rumah kita , kita punya halaman luas tapi mereka memiliki seluruh cakrawala, kita memiliki sebidang tanah kecil untuk hidup dan mereka memiliki ladang yang melampaui pandangan, kita membeli makanan kita, tetapi mereka menumbuhkannya sendiri. Kita membuat dinding disekeliling rumah kita untuk melindungi seluruh harta yang kita miliki, mereka memiliki teman dan tetangga yang melindungi mereka.”
Kemudian si anak menambahkan.
"Terima kasih Ayah telah menunjukkan kepadaku betapa miskinnya kita."

kisah orang pinggiran SAPTO SI TUKANG BECAK


Diusianya yang sudah renta tak mampu lagi menopang beban berat. Tapi masih saja ada beban yang harus dia pikul dipundaknya yang mulai membungkuk. Peluhnya mengalir setiap kali rasa lelah dan penat menggerayangi tubuh kurusnya. Tak ada binar bahagia diraut wajah tuanya, yang ada hanya gambaran rasa lelah yang dia tanggung begitu lama.
Pak Sapto seorang tukang becak yang masih harus berjuang sendirian untuk menghidupi keluarganya. Ditengah kehidupan kota di zaman yang sudah modern dan orang-orang mulai melupakan bejak sebagai alat tranportasi, tapi Sapto masih terus mengayuh becaknya menyusuri jalanan kota Yogyakarta.
Hidup sendiri jauh dari keluarga harus rela dia lakoni demi mencari sesuap nasi. Baginya hidup itu memang perjuangan, bahkan diusianya yang senja dia masih punya semangat untuk berjuang hidup. Sapto tinggal dipinggir jalan di bawah pohon besar yang melindunginya dari terik matahari ketika siang mencuat. Dia juga hanya tidur di dalam becak tuanya tanpa selimut tebal ketika malam menjelang bahkan ketika hujan deras menguyur bumi. Udara dingin dan hawa panas tidak pernah menyurutkan semangatnya.
Beban hidupnya begitu berat, sedih katanya jika dia pulang kedesanya tanpa membawa uang untuk istri dan cucunya. Padahal hidup Sapto sebagai tukang becak tidak lebih dari dari cukup untuk menghidupi dirinya sendiri. Terkadang jika tubuh rentanya mulai dilanda sakit, Sapto hanya tidur dipinggir jalan dengan alas kardus tanpa bisa mencari penumpang. Tidak ada penumpang tidak ada uang, dan itu artinya dia tidak bisa makan.
Pernah terpikir oleh Sapto untuk kembali saja kedesanya menjalani hidup nyaman dirumah gubuknya. Tapi mimpi itu tidak mudah baginya menjadi nyata. Siapa yang akan memberinya makan jika dia tidak bekerja, siapa yang akan dia andalkan padahal keluarganya mengandalkan dirinya.
Sapto tukang becak yang tua dan rapuh sudah tidak punya air mata lagi untuk menangisi nasibnya. Kini harapannya hanya ingin kembali pulang menikmati sisa hidupnya dengan damai disisi keluarganya. Masih ada seuntai senyum kecil ketika dia membayangkan hal itu. Masih ada syukur yang terucap oleh bibir keringnya untuk hidup yang sudah dia jalani, masih ada semangat membara di hatinya yang kelu oleh perjalanan hidupnya, masih ada mimpi yang ingin dia wujudkan.